Sejarah Wayang Golek
Diposting oleh
chibuu
| Rabu, 25 Juli 2012 at 16.45
0
komentar
Labels :
Indonesia
Laskarcerita.com
- Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada
keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek
tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan
perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986)
menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang
dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan
pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa
pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah
70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro.
Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan
kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari
kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh
karena itu, disebut sebagai wayang golek.
Pada
mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan
wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada
sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di
sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang
cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya
(1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari
babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu
berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan
lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840
(Somantri, 1988).
Kelahiran
wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah
III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki
Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru,
Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang
dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun,
pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat
wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek
sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19.
Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak
dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan
Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan
menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang,
maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
Jenis-jenis Wayang Golek
Wayang
golek cepak adalah salah satu jenis kesenian tradisional yang ada di
Indramayu dan Cirebon. Golek artinya boneka sedangkan kata cepak
diambil dari bentuk kepala (mahkota) wayang yang papak (rata). Karena
bentuk inilah jenis kesenian ini dinamakan wayang golek cepak. Konon
wayang ini diciptakan oleh Sunan Gunung Djati sebagai media dakwah.
Wayang golek cepak:
Berbeda
dengan wayang kulit purwa, dalam wayang golek cepak tidak dikenal tokoh
seperti Arjuna atau Shinta. Tokoh-tokoh yang ada dalam wayang golek
cepak adalah subjek yang ada dalam babad atau sejarah. Maka dikenallah
Nyi Mas Gandasari, Wiralodra, Ki Tinggjl, Kuwu Sangkan, Bagal Buntung,
dan lain-lain. Dengan demikian, wayang ini sesungguhnya teater sejarah,
panggung pendidikan. Dengan kata lain, ia sebuah diorama yang bergerak.
Selain grup "Sekar Harum" pimpinan dalang Ki Ahmadi, ada juga grup dan
dalang
kesenian wayang golek lainnya. Mereka adalah Dalang Warsyad dengan gmp
"Jaka Baru" dari Gadingan Sliyeg dan dalang Ki Tayut dari Desa
Juntinyuat dengan nama grupnya "Sri Budi". Ki Tayut boleh dikatakan
dalang senior untuk wayang golek cepak. Ia kemudian mewariskan ilmu dan
perangkat keseniannya kepada anak dan cucunya, antara lain Taram,
Asmara, dan Tarjaya.Setali tiga uang, nasib grup kesenian dan dalangnya
sama; dalam titik nadir.
Wayang Golek Purwa
Wayang
purwa sendiri biasanya menggunakan ceritera Ramayana dan Mahabarata,
sedangkan jika sudah merambah ke ceritera Panji biasanya disajikan
dengan wayang Gedhog. Wayang kulit purwa sendiri terdiri dari beberapa
gaya atau gagrak, ada gagrak Kasunanan, Mangkunegaran, Ngayogjakarta,
Banyumasan, Jawatimuran, Kedu, Cirebon, dan sebagainnya.
Wayang
kulit purwa terbuat dari bahan kulit kerbau, yang ditatah, diberi warna
sesuai dengan kaidah pulasan wayang pedalangan, diberi tangkai dari
bahan tanduk kerbau bule yang diolah sedemikian rupa dengan nama
cempurit yang terdiri dari tuding dan gapit.
Wayang Golek Purwa:
Wayang Golek Purwa:
Pembuatan
Wayang
golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan
meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk
mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang,
digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah.
Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan
berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam
wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
Wayang
golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika
semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam
masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para
seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan.
Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman
Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut
merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada
tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut: Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya. Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku.
Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan
atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara
bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu
diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima:
Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam:
Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian
sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat,
serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap
adat-istiadat bangsa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.